CAKRANEWS.com, ARTIKEL – “Pangan adalah soal hidup matinya bangsa.” (Bung Karno, 1952). Politik pangan selalu menjadi cermin arah sebuah pemerintahan apakah kebijakan yang diambil berpihak kepada rakyat kecil atau sekadar menuruti mekanisme pasar.
Pada awal masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, publik menaruh harapan besar agar konsep kedaulatan pangan tidak berhenti di tataran retorika, tetapi hadir sebagai strategi konkret yang menyejahterakan petani dan menjamin ketenangan konsumen. Harapan besar ini masih terpelihara dalam ingatan publik dengan baik hingga saat ini.
Dalam sektor pangan, Indonesia sebenarnya sudah memiliki dua pilar kelembagaan penting yaitu Perum Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas). Bulog berperan sebagai pelaksana logistik dan pengelola cadangan beras pemerintah (Government Rice Reserve), sementara Bapanas menjadi perancang kebijakan sekaligus pengendali sistem pangan lintas komoditas. Keduanya ibarat “otot dan otak” yang menopang tubuh tata kelola pangan nasional.
Jika menengok ke belakang, pada masa Orde Baru stabilitas pangan menjadi fondasi utama stabilitas sosial nasional. Pemerintah saat itu berhasil menjaga keseimbangan antara harga gabah yang layak, ketersediaan beras yang cukup, dan kepercayaan publik terhadap negara.
Namun kini situasinya jauh lebih rumit. Dunia tengah berhadapan dengan perubahan iklim yang ekstrem, ketegangan geopolitik antarnegara produsen beras di Asia, serta fluktuasi nilai tukar yang berimbas langsung terhadap pasar pangan domestik.
Karena itu, politik pangan di era Prabowo tak bisa lagi berlandaskan pada logika lama yang mengukur keberhasilan dari seberapa besar stok beras di gudang, melainkan harus bergeser menuju politik presisi, yakni sistem tata kelola berbasis data, efisiensi operasional, dan keterbukaan informasi.
Per Oktober 2025, cadangan beras pemerintah mencapai sekitar 3,9 juta ton, sebagian besar hasil serapan produksi dalam negeri. Pemerintah juga menegaskan tidak akan melakukan impor hingga akhir tahun, sebuah langkah yang patut diapresiasi, tapi sekaligus menuntut akurasi dalam pengelolaan stok, penggilingan, dan distribusi agar pasokan tetap merata di pasar.
Harga beras sempat menembus Rp15.000 per kilogram pada Agustus lalu sebelum menunjukkan penurunan pada September. Situasi ini menggambarkan dilema klasik yang selalu dihadapi negara agraris yaitu bagaimana menyeimbangkan kepentingan petani agar tetap memperoleh harga jual yang layak tanpa membebani konsumen, terutama kalangan berpenghasilan rendah. Di titik inilah politik pangan benar-benar diuji antara prinsip keadilan sosial dan efisiensi ekonomi.
Dalam konteks saat ini, Bulog perlu menegaskan dirinya sebagai operator berbasis data (data-driven operator), yakni lembaga yang mengambil keputusan berdasarkan informasi stok, mutu, dan pergerakan harga secara real-time atau waktu sesungguhnya. Teknologi informasi harus menjadi tulang punggung setiap langkah operasional.
Penerapan Warehouse Management System (WMS) dengan sistem digital yang memantau suhu, kelembapan, dan rotasi stok di gudang akan membantu menjaga kualitas beras dan meminimalkan kerugian. Di sisi lain, Bapanas perlu memperkuat integrasi data pangan nasional (One Data Food System), yaitu sistem terpadu yang menyatukan informasi dari hulu hingga hilir, mulai dari petani, penggilingan, hingga jaringan ritel.
Transparansi semacam ini sangat penting. Publik perlu mendapatkan akses ke informasi stok, harga, dan jalur distribusi melalui dashboard terbuka yang mudah dipahami. Ketika masyarakat mengakses data yang sama dengan yang dimiliki pemerintah, kepercayaan tumbuh dan ruang spekulasi bisa ditekan.
Selain Bulog dan Bapanas, satu kekuatan ekonomi rakyat yang potensial memperkuat kedaulatan pangan adalah Koperasi Merah Putih. Koperasi ini tumbuh dari semangat gotong royong dan nasionalisme ekonomi, berperan sebagai penghubung antara petani, pelaku UMKM pangan, dan pasar konsumsi.
Dalam konteks politik pangan era Prabowo, Koperasi Merah Putih dapat menjadi motor penggerak tata kelola pangan di tingkat akar rumput dengan menyalurkan hasil produksi, memfasilitasi distribusi logistik, serta memastikan nilai tambah tidak berhenti di tengkulak, melainkan kembali ke tangan petani.
Koperasi Merah Putih juga berfungsi sebagai mitra sosial-ekonomi Bulog dan Bapanas, terutama dalam penyerapan hasil panen, pengelolaan cadangan lokal, dan pelaksanaan program pangan murah.
Dengan dukungan digitalisasi dan akses pembiayaan mikro, koperasi ini dapat mempercepat pemerataan distribusi bahan pokok, menjaga stabilitas harga di daerah, sekaligus memperluas partisipasi masyarakat dalam sistem pangan nasional. Melalui peran aktif koperasi semacam ini, politik pangan menjadi lebih inklusif, bukan hanya dikelola negara dari atas, tetapi juga digerakkan rakyat dari bawah.
Politik pangan berkeadilan
Ada beberapa langkah konkret yang dapat ditempuh untuk memperkuat arah politik pangan ke depan. Pertama, menegakkan koridor harga yang jelas, yaitu batas bawah (floor price) untuk melindungi pendapatan petani, serta batas atas (ceiling price) untuk menjaga daya beli masyarakat. Evaluasi koridor ini perlu dilakukan secara berkala berdasarkan data musim tanam dan biaya produksi aktual, agar keseimbangan antara insentif ekonomi dan keadilan sosial tetap terjaga.
Kedua, menerapkan traceability system, atau sistem ketertelusuran pangan. Melalui kode QR di setiap kemasan beras, konsumen bisa mengetahui asal-usul, tanggal penggilingan, kadar air, hingga lokasi gudang penyimpanan. Penerapan blockchain privat dapat menjamin integritas data tersebut, sehingga masyarakat yakin terhadap mutu dan keaslian produk beras pemerintah.
Ketiga, Bulog harus mulai menggunakan teknologi prediktif seperti citra satelit dan machine learning untuk memperkirakan lokasi panen potensial, cuaca, dan produksi. Pendekatan ini memungkinkan pengadaan dan distribusi dilakukan secara presisi, sehingga efisiensi logistik meningkat dan biaya bisa ditekan.
Keempat, menjadikan Gerakan Pangan Murah (GPM) sebagai mekanisme permanen. Operasi pangan murah yang dijalankan berdasarkan data stok dan tren harga terbukti efektif meredam inflasi pangan di daerah. GPM bukan lagi kegiatan insidental, tetapi bagian integral dari sistem logistik nasional.
Kelima, memperkuat komunikasi publik yang terbuka dan teratur. Pemerintah perlu secara rutin menerbitkan Laporan Pangan Mingguan yang berisi informasi stok nasional, harga rata-rata, dan distribusi bantuan pangan. Transparansi ini bukan hanya bentuk tanggung jawab publik, melainkan juga instrumen psikologis untuk menumbuhkan optimisme masyarakat.
Transformasi digital di sektor pangan tak hanya meningkatkan efisiensi, tapi juga memperkuat keadilan sosial. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini menjangkau lebih dari 35 juta penerima manfaat melalui hampir 12 ribu dapur umum adalah contoh nyata langkah keberpihakan pemerintah. Namun, keberhasilan program ini memerlukan sistem digital yang menjamin keamanan dan mutu pangan secara konsisten.
Penerapan digital checklist berbasis HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) serta supplier rating system otomatis akan memastikan bahwa setiap dapur umum dan pemasok memenuhi standar keamanan pangan. Dengan begitu, bantuan pangan bukan hanya sekadar distribusi, tetapi juga jaminan kualitas bagi masyarakat penerima.
Digitalisasi bukan semata simbol modernitas, melainkan sarana perlindungan publik. Ketika data, logistik, dan kualitas pangan dikelola secara terbuka dan akuntabel, rakyat akan merasa terlindungi. Di situlah makna sejati dari food security dengan ketahanan pangan yang bertumpu pada kepercayaan dan transparansi.
Menuju kedaulatan pangan sejati
Untuk membangun sistem pangan yang tangguh, ada tiga prasyarat utama.
Pertama, dibutuhkan kepemimpinan tata kelola yang tunggal dan tegas. Bapanas sebagai pengarah kebijakan, Bulog sebagai pelaksana operasional, dan Kementerian Pertanian sebagai penguat produksi.
Kedua, diperlukan disiplin data dan akuntabilitas publik, agar setiap fluktuasi harga dan ketersediaan stok memiliki penanggung jawab yang jelas.
Ketiga, penting membangun kolaborasi lintas sektor melalui forum supply council antara pemerintah, penggilingan, dan ritel modern, untuk memastikan keputusan diambil secara bersama dan transparan.
Politik pangan yang berkeadilan tidak cukup hanya dengan menimbun stok beras. Ia memerlukan dua hal yang tak terpisahkan yakni presisi dalam kebijakan dan empati terhadap rakyat. Presisi menjaga efisiensi, sementara empati memastikan kebijakan berpihak kepada mereka yang paling rentan yaitu petani kecil dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Ketika Bulog bekerja dengan sistem berbasis data dan Bapanas menata kebijakan secara terbuka, hasilnya akan dirasakan langsung oleh publik berupa harga yang stabil, pasokan yang terjamin, dan tumbuhnya rasa percaya bahwa negara benar-benar hadir di meja makan rakyat
Kedaulatan pangan sejati bukan sekadar angka dalam laporan statistik, melainkan pengalaman nyata rakyat Indonesia dari sawah yang produktif, pasar yang terjangkau, hingga dapur yang selalu memiliki bahan pangan cukup. Di situlah politik pangan menemukan maknanya yang hakiki yaitu bukan untuk menenangkan pasar, melainkan untuk menyejahterakan rakyat.
*) Jan Prince Permata, Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI), Alumni IPB.
